Kamis, 25 Agustus 2011

Idul Fitri Tahun Ini

Bismillahhirrohmanirrohim

Tak terasa Ramadhan sudah hampir berlalu. apakah ia meninggalkan jejak-jejak dalam hati kita? apa ia memberi dampak terhadap sikap kita? jika jawabannya adalah tidak maka kita termasuk orang-orang yang merugi. Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan rahmat Allah Swt, maka sia-sialah orang yang melewatinya dengan main-main saja.


Kini Ramadhan telah memasuki 10 malam yang terakhir. jamak kita lihat jumlah jama'ah sholat tarawih semakin sedikit, padahal pada awal ramadhan mesjid penuh sesak oleh jama'ah. pada kemana ni? ada yang bilang udah pada sibuk bikin kue, beli pakaian baru, ngecat rumah, mudik, de el el. pada intinya mereka pada sibuk untuk menyambut Idul Fitri.

Salahkah mereka menyambut idul fitri dengan memakai pakaian yang seba baru, membeli minuman kaleng dan kue dalam jumlah banyak, atau bahkan mempercantik rumah? saya tidak mempunyai kapasitas untuk mengatakan itu salah ato benar...

tapi menurut saya uang yang dibelanjakan itu akan lebih berguna untuk membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan. yuk kita buka mata, telinga dan hati. selama ini mungkin sudah terlalu banyak tangisan-tangisan saudara kita yang disengaja ataupun tidak sering kita acuhkan, seolah kita menganggap bahwa tangisan dan teriakan mereka itu hanya halusinasi sehingga kita mengacuhkannya.

lihatlah disekitar kita, sungguh banyak keluarga yang membutuhkan uluran tangan dari kita, coba tanya sama Mbah google berapa jumlah rakyat miskin dinegara kita? berapa banyak anak putus sekolah? berapa banyak yang hidup dibawah kolong jembatan bahkan yang tinggal di gerobak. sekarang mari lihat kondisi saudara-saudara kita sesama muslim di daratan lain. di Somalia ribuan bayi MATI karena kelaparan setiap harinya. di Palestina saudara kita masih DIBANTAI oleh israel, malahan dipenghung ramadhan ini mereka melanggar perjanjian gencatan senjata dan meningkatkan serangan ke Gaza. belum lagi kondisi saudara-saudara kita di Iraq, Afghanistan, chechnya, moro, pattani, dll.

Uang yang kita habiskan untuk mempercantik diri dan rumah kita itu lebih bermanfaat jika kita berikan kepada yang membutuhkan. jangan tunggu sampai terlambat.

Selasa, 26 Juli 2011

Ku Tak Tahu

Ku Tak Tahu dengan pasti sejak kapan aku mulai suka melihat senja
menghabiskan waktu di sore hari untuk melihat senja

Ku Tak Tahu mengapa aku suka melihat senja
Mungkin karena warna langit yang indah bagiku ketika senja
Atau mungkin karena semilir angin yang bertiup sepoi berpadu dengan dengan indahnya mega di awan?
mungkin juga aku menyukai senja karena pada saat itu aku bisa dengan puas melihat matahari? yang ketika senja ia laksana anak gadis yang malu dan memerah pipinya.
entahlah....

Ku Tak Tahu mengapa....

aku ingin pulang disaat gerimis dikala senja ketika sang mentari merendah pada malam....

Sabtu, 02 April 2011

kesunyian

entah bagaimana memulainya.... kesunyian yang mendekap ini membuat seluruh asaku membeku.
ku tahu ia tak lagi disana, menanti seperti dulu. kini hanya desahan angin malam dan pantulan sinar bulan yang menemani.

apakah ini terlalu?
siapa yang berhak menjawab pun tak kutahu...

Selasa, 15 Maret 2011

Kisah yang menyentuh

Kisah pencarian Abu Bakar Ruben dimulai sejak ia berada di bangku kuliah. Saat itu ia memiliki banyak masalah. Teman dekatnya meninggal karena kecanduan narkoba. Orangtuanya bercerai dan ia mengalami kesulitan keuangan.

“Saya pun mulai bertanya apa sebenarnya tujuan hidup itu?” tuturnya. Peristiwa sulit yang terjadi hampir berturut-turut itu menjadi katarsis bagi Ruben untuk melirik agama.

Ruben dibesarkan di Melbourne oleh orangtua yang tak percaya Tuhan. “Saat kecil saya memang dibesarkan untuk menganut Kristen, tapi orang tua saya atheis, sehingga saya cenderung memiliki pandangan atheis,” ungkap Ruben.

Agama pertama yang ia coba pelajari adalah Kristen. Kebetulan seorang teman mengundangnya untuk datang ke kemah keagamanan. “Mereka bernyanyi, suara mereka bagus, tapi saya bingung apa artinya,” tutur Ruben.

“Mereka kemudian bilang bahwa Tuhan mencintai saya.” Ruben keheranan. “Bagaimana mungkin tuhan mencintai saya sedangkan saya punya anjing dia tidak tidak mencintai saya,” tuturnya. Rupanya saat itu kehidupan Ruben tak tentu arah. Ia bukan tipe orang yang bisa diandalkan, meskipun yang meminta bantuan adalah orang tuanya dan ia memiliki seekor anjing yang kemudian tak pernah ia urus.

Tak menemukan apa yang ia cari ia pun melangkah lagi, kini giliran Katholik dan Anglican Baptis. Namun ada hal yang membuat ia terganggu setiap saat ia bertanya kepada pemeluknya. “Mereka akan membuka injil dan kemudian berkata ‘Oh jawabannya ini saudaraku’ sambil beropini,” tutur Ruben.

“Setiap kali mereka menjawab mereka beropini, sehingga saya menyimpulkan tentu banyak sekali intepretasi dalam Kristen,” katanya. Padahal, lanjutnya, itu belum termasuk perbedaan dalam gereja.

Antara satu pendeta dengan pendeta lain bisa memiliki intepretasi berbeda dan saling mengklaim satu sama lain. “Injil satu rasa tapi intepretasi bermacam dan setiap orang bisa melakukan, itu sangat membingungkan,” ujarnya.

Berikutnya ia melakukan persentuhan dengan Hindu. Ia berteman dengan seorang penganut keyakinan tersebut saat bekerja paruh waktu. “Saya kemudian dikenalkan dengan tuhan berkepala gajah.” Lagi-lagi Ruben bertanya, mengapa tuhan harus berkepala gajah, apa hubungan gajah dengan tuhan. “Mengapa tidak singa? lebih perkasa. Bagi saya sangat tidak logis dan sulit untuk dipahami.”

Menginvestigasi lebih jauh ia menyelidiki agama Yahudi. “Ya nama saya Abu Bakar Ruben, berasal dari Rubenstein, nama yang sangat Yahudi karena itu saya juga mencoba mencari tahu apa itu Yahudi,’ tuturnya. Namun tak ada satupun dari keyakinan itu yang mengena di hatinya.

Hingga suatu saat ia bertemu temanya yang beragama Kristen. “Saya ditanya bagaimana pencarianmu, apa saja yang sudah kampu pelajari?” kata Ruben menirukan ucapan si teman. Ia menjawab semua, mulai Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Yahudi, Anglikan tapi tak ada yang bisa menarik hatinya.

Si teman bertanya lagi, “Bagaimana dengan Islam?”. Pertanyaan langsung disambar Ruben dengan cemooh, “Apa, Islam? Buat apa saya mengivestigasi agama terorisme? Itu gila.”

Tapi respon tubuh Ruben berkata lain. “Saya tidak tahu mengapa dan apa yang menggerakan saya, yang jelas saya mengenakan sepatu, berpakaian rapi dan pergi ke masjid. Saya tak punya petunjuk, bagaimana saya melakukan itu,” tutur Ruben.

Begitu masuk masjid, Ruben merasa cemas. “Saya berpikir ‘Aduh saya bakal mati di sini, saya satu-satunya kulit putih yang terlihat,” tuturnya. Ketika itu seorang pria Timur Tengah berperawakan besar dengan cambang tebal mengenakan abaya mendekatinya. Ia bernama Abu Hamzah.

Tiba-tiba diluar dugaan Ruben, Abu Hamzah menyapanya dengan ramah dan bahkan meminta seorang yang lain untuk membuatkan teh bagi Ruben. “Tak pernah saya bayangkan bakal mendapat perlakuan seperti itu,” kata Ruben.

Ia pun mulai banyak bertanya, tentang teman-temannya yang telah meninggal, tentang apa itu masa lalu dan masa yang akan datang. Abu Hamzah, seperti yang dituturkan Ruben, berdiri mengambil Al Qur’an dan membuka kitab itu lalu menunjukkan sebuah ayat dan meminta Ruben membaca seraya berkata ini jawabannya.

“Itu benar-benar menghentak saya,” kenangnya. Ia pun menanyakan hal-hal sulit lain, seperti mengapa menumbuhkan janggut, mengapat menggunakan hijab, mengapa memiliki istri empat. “Saya pikir itu adalah pertanyaan-pertanyaan sulit, tapi sungguh luar biasa, mereka selalu membuka Al Qur’an dan lalu memberikan kepada saya untuk dibaca. Itu selalu mereka lakukan sebelum mengulas lebih jauh dengan buku hadis yang juga ada di dalam masjid,” tutur Ruben.

“Mereka selalu membuka Al Quran untuk menjawab dan sama sekali tidak beropini,” ujarnya. Kemudian Ruben pun bertanya, “Saya ingin tahu tentang opini anda tentang ini, tentang aturan itu.” Diluar harapan Ruben, mereka menjawab, “Saya tidak mungkin dan tidak boleh beropini tentang Firman Tuhan”.

“Subhanallah, itulah yang benar-benar menyentuh saya dan selalu membuat saya teringat,” ujar Ruben yang telah memeluk Islam saat menuturkan kisahnya. Malamnya ia pun membawa pulang Al Quran. “Dan ketika saya membaca, saya bukan hanya menemukan kisah, tapi seolah-olah ada yang memandu saya.”

Ia memandang Al Qur’an tak hanya benar tetapi juga logis dan ilmiah. Ia takjub bagaimana Al Qur’an juga menguraikan proses penciptaan dan kelahiran manusia, penuturan proses sel telur yang dibuahi hingga tercipta gumpalan darah, tumbuh tulang, peniupan ruh hingga akhirnya membentuk janin yang siap dilahirkan ke bumi.

“Inilah yang saya cari, ini yang saya perlukan,” ujarnya. Butuh enam bulan sebelum ia sampai pada kesimpulan itu. Tapi ketika hendak membuat perubahan besar, Ruben menginginkan pembenaran lain untuk menguatkan keputusannya. “Saya sudah siap melakukan lompatan besar, tapi ingin satu dorongan saja, tak perlu besar, kecil pun cukup,” tuturnya.

Untuk itu ia bahkan melakukan dialog Tuhan. “Ayolah Allah satu saja,” ujarnya menirukan ucapannya sendiri saat itu. Ia duduk dam di tengah ruangan dengan satu lilin menyala. Lama ia menunggu. Tak satupun hal terjadi. “Terus terang sangat kecewa. ‘Aduh Engkau melewatkan satu kesempatan’” ujar Ruben saat itu kepada Tuhan.

Ia kembali menunggu pertanda kedua. Lagi-lagi tak ada perubahan, tak ada petunjuk. “Aduh tolong jangan kecewakan aku lagi. Saya lagi-lagi sungguh kecewa.” tutur Ruben yang akhirnya memutuskan membuka Al Quran. Ia terhenti oleh beberapa ayat, salah satunya berbunyi “Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya) (QS 52:12)

Membaca ayat itu Ruben tersadar. “Betapa arogannya saya menuntut tanda spesifik seperti yang saya mau. Matahari dan semua ciptaannya di muka bumi adalah tanda bagi kita semua,” tutur Ruben.

Begitu yakin dengan keputusannya ia kembali berkunjung ke masjid. “Saya tidak tahu harus berbuat apa dan harus mengucapkan apa, jadi saya putuskan ke masjid.” Tiba di masjid Ruben terkejut menjumpai ruangan begitu penuh. Rupanya saat itu hari pertama Ramadhan.

Mengutarakan niatnya, ia pun diminta untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. “Sangat belepotan, pemandu saya bilang ‘Asyhadu’ saya jawab “As apa?” sampai berulang kali. Menggelikan.” kenang Ruben.

Si pemandu menegaskan pada Ruben bahwa ia harus mengucapkan itu dalam bahasa aslinya, Arab. Kalimat itu tak bisa diucapkan dalam bahasa Inggris. Berlatih beberapa saat, lidah Ruben akhirnya lancar mengucapkan ikrar tersebut. Pada hari pertama Ramadhan itu ia pun resmi menjadi Muslim.

Begitu selesai Ruben mengaku ada beban yang tertarik dan lepas keluar dari tubuhnya. “Saya merasa ringan,” ujarnya. Ia mengira saat itu akan mendapat sambutan teriakan dan takbir ‘Allahu Akbar’. “Tapi ternyata tidak, satu persatu mereka mendatangi saya, menjabat tangan saya dan mencium saya. Bahkan saya belum pernah mendapat ciuman sebanyak itu dari wanita,” tutur Ruben berkelakar.

“Tapi itu peristiwa luar biasa sangat berharga dan tidak bisa saya lupakan. Saya merasa bahagia karena saat itu juga saya mendapat banyak saudara.”

Mengetahui ia masuk Islam, orangtuanya sempat cemas. “Mereka takut tiba-tiba nanti saya sudah memanggul AK 47 dan memegang granat,” selorohnya. “Saya jelaskan itu tidak mungkin. Terus terang saya merasa tenang. Mental saya lebih stabil, saya juga lebih fokus dan mereka (orangtua-red) melihat perubahan itu.” tutur Ruben.

Penasaran, ayahnya pun ikut membaca Al Qur’an. Mereka berkata kepada Ruben sejak menjadi Muslim ia menjadi pribadi lebih baik. “Kamu menjadi orang yang lebih bisa diandalkan, dipercaya dan bisa diminta tolong,’kata Ruben menirukan ucapan ayahnya. “Itulah yang saya rasakan dan saya akan terus meyakini dan mendalami agama ini.”


sumber : http://cahyaiman.wordpress.com/2011/03/04/kisah-inspiratif-perjalanan-abu-bakar-ruben-menemukan-cahaya-islam/